About Green Elf

Foto saya
Ngawi, Jawa Timur, Indonesia
I am a selfish person as I always want to be happy. Then, I practice forgive and forget. It's simple: Forgiveness is happiness.

Senin, 27 Februari 2012

SKB 5 Menteri: Apakah sekedar uji coba di dunia pendidikan???


Euforia reformasi tahun 1998 telah mendorong otonomisasi daerah yang terkesan dilakukan secara serampangan, khususnya dalam hal otonomi pendidikan. Itulah yang terjadi dalam hal pengelolaan guru. Otonomi daerah dianggap telah menimbulkan ketimpangan distribusi guru di Indonesia. Jumlah guru memang dianggap cukup, bahkan rasio guru dan murid dianggap lebih dari cukup. Namun, tingkat penyebaran guru di daerah-daerah masih menunjukkan adanya ketimpangan, terutama di daerah-daerah terpencil atau wilayah perbatasan dengan negara lain.
Kepala Badan Pengembangan SDM dan Penjamin Mutu Pendidikan Syawal Gultom mengatakan, rasio jumlah guru berbanding jumlah peserta didik di Indonesia merupakan yang “termewah” di dunia.
“Rasio di Indonesia sekitar 1:18. Angka tersebut lebih baik jika dibandingkan dengan negara maju seperti Korea (1:30), atau Jerman (1:20). Itu kenyataan, memang distribusinya yang tidak bagus” ungkap Syawal di gedung Kemendikbud, Rabu, 23/11/11 (Kompas.com).
Adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) yang melibatkan 5 Kementerian dalam hal penanganan dan pemerataan guru PNS, pada tanggal 3 Oktober lalu, membuktikan adanya masalah dalam otonomi pendidikan daerah. Dengan adanya peraturan bersama 5 Menteri, yaitu Mendikbud, Menag, Mendagri, Menkeu dan Men-PAN-RB, maka masalah ketimpangan dalam distribusi guru diharapkan akan dapat segera teratasi.
Wakil Mendikbud, Musliar Kasim, bahkan sampai perlu memberikan pernyataan bernada ancaman yang bersifat memaksa.
“Jika guru tidak bersedia ditempatkan di mana saja, lebih baik berhenti menjadi guru..” katanya usai membuka diskusi publik yang diadakan oleh PGRI, Senin, 28/11/11, kemarin (kompas.com).
Sebuah pernyataan dari seorang pejabat tinggi yang dinilai cukup tegas, namun tak terhindarkan dari kesan arogan. Bahkan, Ketua Umum PGRI, Sulistiyo, secara langsung memberikan tanggapannya.
“Mengelola guru, tidak harus menggunakan pendekatan ancaman seperti itu… Jika ada guru yang tidak taat, maka guru dihadapkan pada pilihan yang tidak adil, yaitu berhenti….” kata Sulistyo pada acara dan kesempatan yang sama.
Tentu, kita berharap bahwa penanganan masalah dampak otonomi pendidikan tidak sekedar mengurusi masalah penempatan atau distrubusi guru saja. Banyak fakta yang menunjukkan bahwa otonomi pendidikan telah memberikan dampak negatif dan distortif pada dunia pendidikan. Otonomi daerah pun telah melahirkan “perlombaan” daerah untuk selalu mengajukan permohonan penambahan guru PNS kepada pemerintah pusat. Masalahnya, proses rekruitmen tenaga pendidikan disinyalir tidak berdasarkan atas kebutuhan yang rill dan berdasarkan standar kompetensi para calon guru. Daerah amat mungkin lebih memikirkan terciptanya lowongan kerja sebanyak-banyaknya bagi warganya. Akibatnya, calon guru sebenarnya lebih mencerminkan para pencari kerja sebagai PNS semata, daripada mereka yang benar-benar terpanggil jiwanya untuk menjadi guru dalam arti yang sebenarnya.
Lebih parah lagi, ketika tunjangan pendapatan guru melalui program sertifikasi, dalam prakteknya dianggap jauh dari harapan. Kemendikbud sendiri menilai bahwa program sertifikasi tidak signifikan dalam meningkatkan mutu dan profesionalisme guru. Mengapa hal ini bisa terjadi? Pertama, raw input guru yang memang bermasalah telah menghasilkan mutu guru yang tidak siap berkembang menjadi profesional. Kedua, mekanisme pengawasan yang hampir tidak berjalan efektif, sehingga guru tidak benar-benar merasa dituntut untuk mengembangkan kemampuan profesionalnya sebagai pendidik.
Ketiga, adanya salah sasaran, bahwa tidak sedikit tambahan dana satu kali gaji pokok itu hanya digunakan oleh para guru untuk keperluan banyak hal yang di luar kepentingan profesionalismenya. Dalam hal-hal tertentu, dana sertifikasi banyak digunakan untuk sekedar meningkatkan gaya hidup seorang guru. Sertifikasi, baru berhasil meningkatkan pendapatan guru, namun belum mampu meningkatkan profesionalisme guru secara signifikan.
Akhirnya, apa yang dapat disimpulkan dari lahirnya SKB 5 Menteri mengenai distribusi guru? Asal dilakukan secara matang, serius dan konsisten, maka penarikan kewenangan kembali ke pusat, dapat dikatakan sebagai sesuatu yang baik sebagai bagian untuk mengontrol mutu pendidikan nasional. Otonomi pendidikan, memang cukup layak untuk dievaluasi agar pendidikan tidak menjadi korban. Boleh saja ada pendapat yang mengatakan bahwa beri kesempatan dulu bagi pemerintah daerah untuk mampu mengelola pendidikan secara otonom.
Masalahnya, haruskah pendidikan menjadi korban dari proses belajar pemerintah daerah? Lebih repot lagi, bila ternyata pemerintah daerah hampir sama sekali tidak melakukan proses pembelajaran dalam menangani masalah pendidikan. Maka, akibatnya jauh lebih serius lagi. Paling tidak, pendidikan akan terus menjadi ajang uji coba bagi mereka. Termasuk, berlaku pula bagi pemerintah pusat.