Euforia reformasi tahun 1998 telah mendorong otonomisasi daerah yang terkesan
dilakukan secara serampangan, khususnya dalam hal otonomi pendidikan. Itulah
yang terjadi dalam hal pengelolaan guru. Otonomi daerah dianggap telah
menimbulkan ketimpangan distribusi guru di Indonesia. Jumlah guru memang
dianggap cukup, bahkan rasio guru dan murid dianggap lebih dari cukup. Namun,
tingkat penyebaran guru di daerah-daerah masih menunjukkan adanya ketimpangan,
terutama di daerah-daerah terpencil atau wilayah perbatasan dengan negara lain.
Kepala Badan Pengembangan SDM
dan Penjamin Mutu Pendidikan Syawal Gultom mengatakan, rasio jumlah guru
berbanding jumlah peserta didik di Indonesia merupakan yang “termewah” di
dunia.
“Rasio di Indonesia sekitar
1:18. Angka tersebut lebih baik jika dibandingkan dengan negara maju
seperti Korea (1:30), atau Jerman (1:20). Itu kenyataan, memang distribusinya
yang tidak bagus” ungkap Syawal di gedung Kemendikbud, Rabu,
23/11/11 (Kompas.com).
Adanya Surat Keputusan Bersama
(SKB) yang melibatkan 5 Kementerian dalam hal penanganan dan pemerataan guru
PNS, pada tanggal 3 Oktober lalu, membuktikan adanya masalah dalam otonomi
pendidikan daerah. Dengan adanya peraturan bersama 5 Menteri, yaitu Mendikbud,
Menag, Mendagri, Menkeu dan Men-PAN-RB, maka masalah ketimpangan dalam
distribusi guru diharapkan akan dapat segera teratasi.
Wakil Mendikbud, Musliar
Kasim, bahkan sampai perlu memberikan pernyataan bernada ancaman yang bersifat
memaksa.
“Jika guru tidak bersedia
ditempatkan di mana saja, lebih baik berhenti menjadi guru..” katanya usai membuka diskusi publik yang diadakan oleh PGRI, Senin,
28/11/11, kemarin (kompas.com).
Sebuah pernyataan dari seorang
pejabat tinggi yang dinilai cukup tegas, namun tak terhindarkan dari kesan arogan.
Bahkan, Ketua Umum PGRI, Sulistiyo, secara langsung memberikan tanggapannya.
“Mengelola guru, tidak harus
menggunakan pendekatan ancaman seperti itu… Jika ada guru yang tidak taat, maka
guru dihadapkan pada pilihan yang tidak adil, yaitu berhenti….” kata Sulistyo pada acara dan kesempatan yang sama.
Tentu, kita berharap bahwa
penanganan masalah dampak otonomi pendidikan tidak sekedar mengurusi masalah
penempatan atau distrubusi guru saja. Banyak fakta yang menunjukkan bahwa
otonomi pendidikan telah memberikan dampak negatif dan distortif pada dunia
pendidikan. Otonomi daerah pun telah melahirkan “perlombaan” daerah untuk
selalu mengajukan permohonan penambahan guru PNS kepada pemerintah pusat.
Masalahnya, proses rekruitmen tenaga pendidikan disinyalir tidak berdasarkan
atas kebutuhan yang rill dan berdasarkan standar kompetensi para calon guru.
Daerah amat mungkin lebih memikirkan terciptanya lowongan kerja
sebanyak-banyaknya bagi warganya. Akibatnya, calon guru sebenarnya lebih
mencerminkan para pencari kerja sebagai PNS semata, daripada mereka
yang benar-benar terpanggil jiwanya untuk menjadi guru dalam arti yang
sebenarnya.
Lebih parah lagi, ketika
tunjangan pendapatan guru melalui program sertifikasi, dalam prakteknya
dianggap jauh dari harapan. Kemendikbud sendiri menilai bahwa program
sertifikasi tidak signifikan dalam meningkatkan mutu dan profesionalisme guru.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Pertama, raw input guru yang memang
bermasalah telah menghasilkan mutu guru yang tidak siap berkembang menjadi
profesional. Kedua, mekanisme pengawasan yang hampir tidak berjalan
efektif, sehingga guru tidak benar-benar merasa dituntut untuk mengembangkan
kemampuan profesionalnya sebagai pendidik.
Ketiga, adanya salah sasaran, bahwa tidak sedikit tambahan dana satu kali gaji
pokok itu hanya digunakan oleh para guru untuk keperluan banyak hal yang di
luar kepentingan profesionalismenya. Dalam hal-hal tertentu, dana sertifikasi
banyak digunakan untuk sekedar meningkatkan gaya hidup seorang guru.
Sertifikasi, baru berhasil meningkatkan pendapatan guru, namun belum mampu
meningkatkan profesionalisme guru secara signifikan.
Akhirnya, apa yang dapat
disimpulkan dari lahirnya SKB 5 Menteri mengenai distribusi guru? Asal
dilakukan secara matang, serius dan konsisten, maka penarikan kewenangan
kembali ke pusat, dapat dikatakan sebagai sesuatu yang baik sebagai bagian
untuk mengontrol mutu pendidikan nasional. Otonomi pendidikan, memang cukup
layak untuk dievaluasi agar pendidikan tidak menjadi korban. Boleh saja ada
pendapat yang mengatakan bahwa beri kesempatan dulu bagi pemerintah daerah
untuk mampu mengelola pendidikan secara otonom.
Masalahnya, haruskah
pendidikan menjadi korban dari proses belajar pemerintah daerah? Lebih repot
lagi, bila ternyata pemerintah daerah hampir sama sekali tidak melakukan proses
pembelajaran dalam menangani masalah pendidikan. Maka, akibatnya jauh lebih serius
lagi. Paling tidak, pendidikan akan terus menjadi ajang uji coba bagi mereka.
Termasuk, berlaku pula bagi pemerintah pusat.